Hutan tidak saja menciptakan kestabilan lingkungan, tetapi juga memberikan kehidupan bagi mahluk hidup. Hutan adalah paru-paru dunia. "Degup jantungnya" mensterilkan udara, "tubuhnya" sangat bermanfaat untuk banyak keperluan manusia dan mahluk hidup lainnya. Begitu vital keberadaan hutan bagi masyarakat luas, hingga para penghuni bumi yang peduli dengan lingkungan berupaya keras menjaga kesinambungan dan kelestarian hutan. Malangnya, upaya itu khususnya di
Selamatkan Hutanku, Hutanmu, Hutan kita
HUTAN GUNDUL--Beginilah pemandangan hutan di Kabupaten Belu yang habis terbakar. Bila ini dibiarkan terus, maka suatu saat Kabupaten Belu akan kehabisan hutan
SEBUAH papan bercat hijau, tulisan putih huruf kapital di tengahnya, "KENDALIKAN API, LESTARIKAN HUTAN KITA" jelas terbaca. Di sudut kanan papan itu tertulis, Dinas Kehutanan Belu 2008 dengan tulisan biasa agak kecil. Ditempatkan di lokasi sangat strategis. Di tepi jalan umum jurusan Atambua, Ibu
Warga yang melintas di jalan itu tentu sangat jelas membaca tulisan ini. Hanya dengan memalingkan pandangan ke kanan jalan (dari arah Atambua), kita sudah bisa membacanya. Sepanjang jalan jurusan ini memang terdapat puluhan peringatan yang tertulis pada papan yang ditancapkan di sisi kiri dan kanan jalan. Inti pesannya, mengajak masyarakat menyelamatkan hutan lindung di wilayah ini.
Namun, dari semua tulisan yang terpasang sepanjang jalan ini, tulisan "Kendalikan Api Lestarikan Hutan Kita" cukup menarik perhatian. Papan tulisan itu ditempatkan di lokasi yang sangat kontras. Pada tebing di belakang papan tulisan itu, tampak tanah tandus, sebagian pohon terbakar api. Rumpun pohon bambu yang berdiri berderet-deret tampak daunnya berwarna kekuning-kuningan. Tak ada daun bambu berwarna hijau lagi. Layu dan keriput batang bambu terkena sengatan api. Tidak ada pohon pengganti yang ditanam di areal tanah yang tandus.
Semuanya hangus terbakar api. Inilah gambaran sekilas kawasan hutan lindung jurusan Atambua-Atapupu yang dulunya begitu lebat, kini 'hilang' karena dibabat dan dibakar oknum tak bertanggung jawab. Hutan alamiah yang menjadi lokasi tangkapan air hujan kini tak berbekas. Tanah tandus, kering kerontang. Warga dengan sadar dan mau, membabat hutan ini untuk kepentingan lahan pertanian. Kawasan hutan lindung di kilometer 7 jurusan Atapupu ini hanya satu dari ribuan hektar hutan yang ada di Belu yang sudah dibabat habis. Upaya penyelamatan kawasan hutan rupanya masih jauh dari harapan.
Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Belu, Ir. Tisera Antonius mengatakan, pihaknya telah berusaha menyelamatkan kawasan hutan dengan memberikan sosialisasi kepada masyarakat. Namun, kegiatan tebas, bakar tetap menjadi agenda rutin setiap tahun di Belu.
Antonius menuturkan, secara keseluruhan luas kawasan hutan di Belu mencapai 69.401 hektar. Dari keseluruhan luas hutan itu, seluas 3.200 hektar kondisinya "tidak sehat" alias dibabat untuk pembukaan areal pertanian. Hutan yang dibabat terutama di kawasan konservasi dan hutan lindung. Dinas kehutanan Belu kini tengah berupaya untuk merehabilitasinya dengan menggalakkan program gerakan rehabilitasi hutan (gerhan) dan gerakkan hutan keluarga.
Antonius merincikan, secara umum kawasan hutan di Kabupaten Belu seluas 69.401 hektar itu, hutan konservasi seluas 13.231 hektar yang merupakan kawasan di bawah pengawasan Balai SDA NTT, dan hutan lindung seluas 51.841 hektar dibawah pengawasan Dinas Kehutanan Belu, termasuk hutan produksi seluas 4.329 hektar. Dari luas areal hutan ini, sekitar 28 persen atau 3.200 hektar tidak sehat karena mengalami pengrusakkan yang diakibatkan oleh ulah perambah hutan. "Sebenarnya kawasan hutan di Belu ini rata-rata masih potensial tetapi ulah dari oknum-oknum tertentu menyebabkan ada sebagian kawasan konservasi dan hutan lindung rusak. Oknum-oknum ini melakukan perambahan untuk membuka ladang baru karena mereka berpikir di kawasan ini tanahnya sangat subur. Kita sudah berupaya menghentikan kegiatan perambahan ini tetapi mental oknum-oknum masyarakat ini memang sulit mengerti," jelasnya.
Terhadap kawasan yang tidak sehat lagi ini, Antonius menyampaikan kalau kini sudah ada upaya dari Dishut untuk melakukan peremajaan dengan program gerhan. Upaya ini justru mendapat dukungan dari pemerintah pusat dan Pemkab Belu dalam bentuk dana rehabilitasi. Dana itu diarahkan untuk pengadaan bibit untuk disalurkan kepada para petani yang membutuhkan.
"Kita coba lakukan pendekatan dengan berbagai cara agar hutan yang sudah gundul bisa diremajakan kembali. Kita coba siapkan bibit kita droping ke pemilik lahan lalu mereka tanam dan rawat sendiri. Selain itu, kita juga berikan bimbingan teknis kepada petani agar mereka rawat secara baik bibit tanaman yang kita distribusikan sehingga ada timbal balik keuntungan," tambahnya.
Terlepas dari upaya Dinas Kehutanan Belu dengan caranya, tetapi faktanya, hutan di Belu sudah rusak parah. Layaknya manusia, tubuhnya sudah mengalami penyakit yang sangat kronis. Membutuhkan biaya yang cukup dan pemeliharaan yang telaten. Dishut tidaklah cukup dengan sebatas omong-omong, tetapi harus ada tindakan nyata dengan sumpah adat. Dengan begitu, membatasi ruang gerak oknum yang tidak bertanggung jawab untuk melakukan kejahatan. Hutan kita harus segera diselamatkan, kalau mau generasi berikutnya tidak mengalami akibatnya. Gerakkan penyelamatan hutan mutlak dilakukan. Siapa yang berani memulainya?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar